Menjadi seorang guru atau pemimpin yang bijaksana tidaklah gampang. Ini bukan hanya masalah pengalaman atau jam terbang saja. Tapi dari berbagai kesalahan yang pernah dibuat, akan mengantar seseorang menjadi bijaksana. Dibawah ini adalah salah satu contoh yang sering dianggap sebagai tindakan bijaksana, padahal justru disitulah letak kesalahannya.
Kebetulan Anda seorang kepala sekolah. Suatu hari, seorang murid datang dan berkata bahwa ia akan pindah ke sekolah lain.
"Mengapa? Ada apa? Apa yang membuatmu tidak senang belajar di sekolah ini. Nilai-nilaimu bagus."
"Tidak ada yang salah, Pak Guru. Saya hanya ingin pindah. Itu saja."
"Apakah guru-gurunya yang salah? Apakah ada guru yang tidak kau senangi?"
"Tidak, bukan karena guru-guru."
"Apakah teman-teman? Apakah engkau baru berkelahi dengan salah seorang teman?"
"Tidak, bukan karena hal-hal seperti itu."
"Barangkali karena bayaran sekolah? Kalau terlalu mahal, kita bisa berunding dengan orang tuamu."
"Bukan, bukan karena itu."
Sang kepala sekolah lalu diam cukup lama. Ia yakin bahwa dengan diam ia akan membuat anak itu berbicara. Tiba-tiba sang murid mengusap air matanya. Dalam hati, kepala sekolah itu sadar, ia telah menang. Dengan nada lembut dan penuh pengertian, ia berkata. "Engkau menangis pasti karena ada sesuatu yang merisaukanmu bukan?" Anak itu mengangguk.
"Nah, coba katakan apa yang membuatmu menangis." Sang murid menatap kepala sekolah dan berkata, "Karena Bapak menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu kepada saya."
sumber : majalah intisari
Kebetulan Anda seorang kepala sekolah. Suatu hari, seorang murid datang dan berkata bahwa ia akan pindah ke sekolah lain.
"Mengapa? Ada apa? Apa yang membuatmu tidak senang belajar di sekolah ini. Nilai-nilaimu bagus."
"Tidak ada yang salah, Pak Guru. Saya hanya ingin pindah. Itu saja."
"Apakah guru-gurunya yang salah? Apakah ada guru yang tidak kau senangi?"
"Tidak, bukan karena guru-guru."
"Apakah teman-teman? Apakah engkau baru berkelahi dengan salah seorang teman?"
"Tidak, bukan karena hal-hal seperti itu."
"Barangkali karena bayaran sekolah? Kalau terlalu mahal, kita bisa berunding dengan orang tuamu."
"Bukan, bukan karena itu."
Sang kepala sekolah lalu diam cukup lama. Ia yakin bahwa dengan diam ia akan membuat anak itu berbicara. Tiba-tiba sang murid mengusap air matanya. Dalam hati, kepala sekolah itu sadar, ia telah menang. Dengan nada lembut dan penuh pengertian, ia berkata. "Engkau menangis pasti karena ada sesuatu yang merisaukanmu bukan?" Anak itu mengangguk.
"Nah, coba katakan apa yang membuatmu menangis." Sang murid menatap kepala sekolah dan berkata, "Karena Bapak menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu kepada saya."
sumber : majalah intisari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar